Sabtu, 29 November 2008

Cinta Sena (Cerpen) Bagian 1

Aku berdiri dalam keramaian, penuh dengan orang yang lalu lalang. Jangankan untuk berjalan, menggerakkan badanpun sepertinya sangat susah. Tapi anehnya aku merasa sepi sendiri, orang-orang seperti bayang semu yang mengelilingiku. Bisingnya suara mereka begitu bisu ditelingaku, bahkan lebih keras debar jantungku. Aku seperti mati dalam keramaian. Aku bahkan hampir tidak bisa mengenali siapa diriku ini. Aku mati, mati, mati.
Langit seketika menjadi gelap, kilat menyambar diikuti bunyi menggelegar, menggetarkan setiap simpul syaraf ditubuhku. Aku terhenyak, tersadar bahwa aku masih ditempatku semula, didalam kamarku, di atas tempat tidurku, di dalam gelap, seperti dua jam yang lalu. Mimpi ku pikir, sambil menghela nafas dan menyeka keringat dingin didahiku, aku melihat jam weker kesayanganku, pemberian terakhir mama, yang terpenting pesan beliau "Sena, jangan lupa waktu, yah". Kenangan itu kembali membayang, terutama senyum mama yang penuh dengan kasih sayang.
Sebelum terlalu jauh, namaku Sena, lengkapnya Senapati, aku tidak tau kenapa orang tuaku memberiku nama seperti itu, mungkin mereka ingin aku menjadi seorang pemimpin yang gagah, jujur dan berani seperti seorang senapati di jaman kerajaan dulu. Usiaku memang sudah tidak muda lagi, sekarang sudah beranjak 30, usia yang cukup untuk selalu tetap produktif.
Tidak terasa sekarang sudah jam 03.00, padahal aku baru bisa memejamkan mata 2 jam yang lalu, singkat sekali rasanya tidurku malam ini, tidak tau kenapa, pikiranku saat ini terasa sangat kosong, aku tidak tau harus berbuat apa, bahkan aku tau harus berpikir apa. Aku coba bangkit dari tempat tidur, menyalakan lampu kamar dan menggerakkan badan untuk mengusir kepenatan. Segelas kopi yang masih setengah tersisa kuhirup untuk menghilangkan dahaga dan kemudian kunyalakan sebatang rokok.
"sssshhh...." nikmaaat rasanya.
Kuambil kursi dan kubuka jendela kamarku, terasa udara pagi yang dingin mulai menyentuh kulit tubuhku yang telanjang dada. Untung kamarku berada ditingkat dua, sehingga pemandangan yang terlihat bukan dinding-dinding kumuh rumah-rumah yang ada disekitarku, dari sini aku masih bisa melihat langit birunya malam yang sedikit terang dengan adanya cahaya bulan. Aku tinggal di rumah kost yang sangat sederhana, terlalu malah kalau tidak mau juga dibilang kumuh.Kebetulan pemiliknya adalah seorang bapak yang sudah sangat tua dengan isteri dan seorang cucunya, laki, yang masih sangat kecil baru berumur 2 tahun. Hitung-hitung saling membantu, bapak itu, Samiran namanya, hanya mampu untuk menghidupi keluarganya dengan menarik becak, itupun bukan punya sendiri, padahal umur beliau sudah 60 tahun lebih. (belum selesai)

Kamis, 20 November 2008

MENGENAL BID'AH oleh Ustadz Muslim Abu Ishaq Al Atsari

Al Allamah Asy Syaikh Abdurrahman bin Nashir As Sa`di rahimahullah memaparkan tentang bid`ah : "Bid`ah adalah perkara yang diada-adakan dalam agama. Sesungguhnya agama itu adalah apa yang datangnya dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sebagaimana termaktub dalam Al Qur'an dan As Sunnah. Dengan demikian apa yang ditunjukkan oleh Al Qur'an dan As Sunnah itulah agama dan apa yang menyelisihi Al Qur'an dan As Sunnah berarti perkara itu adalah bid`ah. Ini merupakan defenisi yang mencakup dalam penjabaran arti bid`ah. Sementara bid`ah itu dari sisi keadaannya terbagi dua :

Pertama : Bid`ah I'tiqad (bid`ah yang bersangkutan dengan keyakinan)
Bid`ah ini juga diistilahkan bid`ah qauliyah (bid`ah dalam hal pendapat) dan yang menjadi patokannya adalah sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan dalam kitab sunan :

"Umat ini akan terpecah menjadi 73 golongan, semuanya berada dalam neraka kecuali satu golongan".
Para shahabat bertanya : "Siapa golongan yang satu itu wahai Rasulullah ?.
Beliau menjawab : "Mereka yang berpegang dengan apa yang aku berada di atasnya pada hari ini dan juga para shahabatku".

Yang selamat dari perbuatan bid`ah ini hanyalah ahlus sunnah wal jama`ah yang mereka itu berpegang dengan ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan apa yang dipegangi oleh para shahabat radliallahu anhum dalam perkara ushul (pokok) secara keseluruhannya, pokok-pokok tauhid , masalah kerasulan (kenabian), takdir, masalah-masalah iman dan selainnya.

Sementara yang selain mereka dari kelompok sempalan (yang menyempal/keluar dari jalan yang benar) seperti Khawarij, Mu`tazilah, Jahmiyah, Qadariyah, Rafidhah, Murji`ah dan pecahan dari kelompok-kelompok ini , semuanya merupakan ahlul bid`ah dalam perkara i`tiqad. Dan hukum yang dijatuhkan kepada mereka berbeda-beda, sesuai dengan jauh dekatnya mereka dari pokok-pokok agama, sesuai dengan keyakinan atau penafsiran mereka, dan sesuai dengan selamat tidaknya ahlus sunnah dari kejelekan pendapat dan perbuatan mereka. Dan perincian dalam permasalahan ini sangatlah panjang untuk dibawakan di sini.

Kedua : Bid`ah Amaliyah (bid`ah yang bersangkutan dengan amalan ibadah)
Bid`ah amaliyah adalah penetapan satu ibadah dalam agama ini padahal ibadah tersebut tidak disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Dan perlu diketahui bahwasanya setiap ibadah yang tidak diperintahkan oleh Penetap syariat (yakni Allah ta`ala) baik perintah itu wajib ataupun mustahab (sunnah) maka itu adalah bid`ah amaliyah dan masuk dalam sabda nabi shallallahu alaihi wasallam :
"Siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak di atas perintah kami maka amalannya itu tertolak".
Karena itulah termasuk kaidah yang dipegangi oleh para imam termasuk Imam Ahmad rahimahullah dan selain beliau menyatakan :
"Ibadah itu pada asalnya terlarang (tidak boleh dikerjakan)"

Yakni tidak boleh menetapkan/mensyariatkan satu ibadah kecuali apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Dan mereka menyatakan pula :
"Muamalah dan adat (kebiasaan) itu pada asalnya dibolehkan (tidak dilarang)"

Oleh karena itu tidak boleh mengharamkan sesuatu dari muamalah dan adat tersebut kecuali apa yang Allah ta`ala dan rasul-Nya haramkan. Sehingga termasuk dari kebodohan bila mengklaim sebagian adat yang bukan ibadah sebagai bid`ah yang tidak boleh dikerjakan, padahal perkaranya sebaliknya (yakni adat bisa dilakukan) maka yang menghukumi adat itu dengan larangan dan pengharaman dia adalah ahlu bid`ah (mubtadi). Dengan demikian, tidak boleh mengharamkan satu adat kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya.

Dan adat itu sendiri terbagi tiga :
Pertama : yang membantu mewujudkan perkara kebaikan dan ketaatan maka adat seperti ini termasuk amalan qurbah (yang mendekatkan diri kepada Allah).
Kedua : yang membantu/mengantarkan kepada perbuatan dosa dan permusuhan maka adat seperti ini termasuk perkara yang diharamkan.
Ketiga : adat yang tidak masuk dalam bagian pertama dan kedua (yakni tidak masuk dalam amalan qurbah dan tidak pula masuk dalam perkara yang diharamkan) maka adat seperti ini mubah (boleh dikerjakan). Wallahu a`lam.
(Al Fatawa As Sa`diyah, hal. 63-64 sebagaimana dinukil dalam Fatawa Al Mar'ah Al Muslimah)

Minggu, 16 November 2008

STPDN/IPDN, Jenjang Senioritas

Tahapan Senioritas
Sejak tahun 1996 (angkatan 05), di STPDN terjadi perubahan status dari Diploma III menjadi Diploma IV, sehingga tingkatan senioritas bertambah dengan adanya tingkat 4. Sebutan untuk menunjukkan masing-masing tingkatan adalah :
Tingkat 1 disebut dengan Muda Praja
Tingkat 2 disebut dengan Madya Praja
Tingkat 3 disebut dengan Nindya Praja
Tingkat 4 disebut dengan Wasana Praja.
Dalam pola pembinaan keprajaanpun, keempatnya masing-masing memiliki pola tersendiri, yaitu :
Muda Praja merupakan Tahap Pengosongan
Madya Praja merupakan Tahap Penanaman
Nindya Praja merupakan Tahap Penumbuhan
Wasana Praja merupakan Tahap Pengembangan.
Adapun penjabaran dari masing-masing tahapan adalah sebagai berikut :
Tahap Pengosongan (Muda Praja)
Muda Praja sebagai tahap awal yang harus dilalui setelah seseorang lulus dalam mengikuti seleksi penerimaan dan dinyatakan diterima sebagai Praja STPDN/IPDN. Dalam tahapan ini terasa masih sangat kental adanya perbedaan antara Praja satu dengan lainnya, baik karakteristik budaya daerah, bahasa, etika pergaulan, tingkat kedudukan sosial, agama dan keyakinan. STPDN/IPDN dapat dikatakan sebagai suatu miniatur Indonesia, didalamnya terdapat keaneragaman suku bangsa dan budaya, karakteristik dan lain sebagainya. Keanekaragaman yang menjadi salah satu kekayaan STPDN/IPDN yang harus dibina, dikembangkan dan diarahkan dengan harapan bahwa perbedaan tersebut dapat disatukan dalam satu wawasan nusantara bukan malah menjadi bahan perselisihan dan perpecahan. Untuk itu diperlukan adanya satu kesepahaman persepsi sehingga perbedaan tersebut menjadi satu kekuatan besar. Berbagai perbedaan latar belakang, karakteristik budaya, harus mampu dipadukan dengan mengesampingkan ego kedaerahan (primordial). Muda Praja diharapkan mampu untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi diantara satu dengan lainnya. Tidak ada lagi orang Batak, orang Jawa, orang Dayak, orang Banjar, orang Makassar, orang Bugis, orang Manado, orang Ambon, orang Maluku, orang Bali, orang Irian dan lain sebagainya, semuanya satu, satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia, yang lebih penting lagi adalah satu keluarga besar. Tidak ada perbedaan antara anak orang kaya, anak gubernur, anak bupati, anak komandan kodim, anak pengusaha, anak petani, anak pedagang, anak buruh, anak tukang becak, semua sama, sama-sama Muda Praja, berdiri dalam satu barisan, tidur dalam satu barak, makan dalam satu Menza, makan sama pakai ompreng, nasi sama keras, lauk sama apa adanya. Satu Rasa. Apakah tahapan ini perlu, jawabnya Sangat Diperlukan. Hal ini juga dalam rangka pembelajaran untuk bisa saling mengerti, memahami dan merasakan kehidupan saudara-saudara kita yang masih berada jauh dibawah.
Sebelumnya Penulis mohon maaf kalau terpaksa bercerita "dulu" bukan maksud untuk membandingkan dan merasa lebih baik dari yang sekarang, akan tetapi ini hanya sebagai satu cerita dan bahan untuk membuka wawasan akan sejarah dan pola pembinaan Praja pada masa itu. Muda Praja saat itu benar-benar mengalami masa-masa yang sangat sulit, jauh berbeda dengan apa yang pernah mereka alami di luar dan mungkin belum pernah terbayangkan. Saat itu Praja tidak boleh ada yang membawa makanan ke barak, uang saku dibatasi hanya Rp.60.000,- perbulan, gaji disimpan di Bank dan tidak boleh diambil tanpa seizin lembaga melalui Pengasuhan, mau makan baris, habis makan baris, makan paling akhir tapi harus lebih dulu selesai dari para seniornya, memakai wangi-wangian dilarang, membawa barang elektronik apapun tidak dibolehkan, jangan kan TV, radiopun tidak ada. PUDD (Peraturan Urusan Dinas Dalam) selalu diperiksa, mulai dari lemari pakaian, tempat tidur, lemari belajar, kamar mandi dan lain sebagainya. Saling mengirim surat tidak dibolehkan, menerima telpon harus melalui Posko Manggala (Posko Propinsi), sampai-sampai Penulis diputus pacar dibilang sudah lupa sampai ngga pernah ngasih kabar (hi hi hin kasian deh gue). Mau makan ke kantin ? jangan coba-coba, tabu bagi Muda Praja menjamah kawasan para seniornya. Masuk Menza paling akhir, mulai makan belakangan tapi harus lebih dulu selesai dari senior yang ada di meja, duduk setengah kursi, makan harus habis tidak boleh ada sisa. Tidak ada beda antara anak pejabat, anak petani, semua sama.
Nasibmu Muda Praja, tapi itulah masa paling berkesan, ngumpul dengan teman seangkatan menceritakan penderitaan sebagai bahan pembicaraan dan menumbuhkan rasa keakraban.
Tahap Penanaman (Madya Praja)
Dalam Tahap ini masa-masa Muda Praja sudah terlewati, seorang Madya Praja sudah memiliki seorang adik yang harus dibina dan menjadi tanggung jawabnya. Masa Madya Praja adalah masa penanaman, dimana setelah masa pengosongan dilalui, Madya Praja mulai diisi dengan penanaman nilai-nilai bagaimana seharusnya seorang Praja bersikap. Penanaman nilai-nilai ini tentunya tidak akan mudah untuk diterima seandainya mereka pada saat Muda Praja tidak terlebih dulu diarahkan. Kenikmatan setelah melalui masa Muda Praja sangat terasa pada saat Madya Praja ini dan ini juga merupakan tahapan bagaimana Madya Praja belajar untuk ikut mengarahkan dan membimbing adik-adiknya Muda Praja.
Tapah Penumbuhan (Nindya Praja)
Dalam Tahapan Penumbuhan, tingkat kedewasaan seorang Praja mulai terlihat, dengan telah dilaluinya kedua tahapan sebelumnya, Nindya Praja harus mampu untuk lebih mengembangkan diri, lebih bertanggung jawab dan dapat bersifat sebagai orang kedua dari seniornya untuk membantu membina dan mengarahkan para yuniornya.
Tahap Pengembangan (Wasana Praja)
Masa akhir ini merupakan masa yang paling nyaman sekaligus sangat berat. Seorang Wasana Praja tidak tidak hanya bertanggung jawab kepada adik-adiknya akan tetapi juga secara pribadi mereka harus siap untuk bertanggung jawab kepada masyarakat. Berbagai bekal yang telah diterima harus mampu untuk dikembangkan dalam rangka persiapan melaksanakan tugas dilapangan. Wasana Praja sebagai seorang Pamong Praja Muda diharuskan siap untuk terjun ke masyarakat.
Dari uraian di atas, banyak sekali makna yang terkandung dari setiap tahapan, diantaranya :
  • Kita harus menyadari bahwa dalam perjalanan hidup dan karir perlu adanya tahapan yang masing-masing harus mampu dilalui dan dijalani dengan baik dan benar.
  • Untuk mencapai satu keberhasilan perlu ada perjuangan dan pengorbanan
  • Kita tidak akan bisa merasakan sakit yang diderita orang lain kalau kita belum pernah mengalaminyang
  • Ibarat menanam padi, tahapan dan langkah-langkahnya harus benar-benar dilalui dengan baik sehingga hasilnya pun akan baik pula
  • Jangan selalu melihat ke atas, tapi belajarlah untuk melihat ke bawah
Bersyukurlah kita pernah mengalami dan merasakan, perjalanan hidup yang cukup berat,
masih banyak saudara kita yang mungkin belum pernah merasakannya,
sehingga kita bisa lebih belajar makna dari hidup
dan bisa merasa penderitaan sesama

IPDN, makna senioritas

Selama kasus IPDN bergulir, kata "Senior" atau "Senioritas" seperti momok yang benar-benar harus dienyahkan dari bumi manglayang, tempat IPDN bercokol. Orang banyak meributkan kata "senior" beserta "senioritas"nya menjadi salah satu penyebab kekerasan yang terjadi di IPDN. Dosa apa yang telah dilakukan kata "senior" dan "senioritas" sehingga harus ikut dipersalahkan dan dikambing hitamkan. Padahal kata "senior" dan "senioritas" bukan baru muncul dari dasar bumi, tapi sudah sejak jaman bahela sudah ada dan digunakan secara luas. Bangsa kita memang sudah terlalu banyak orang pintar sehingga penggunaan kata saja seringkali jadi perdebatan.
Dalam kamus online disebutkan bahwa kata "senior" dapat diartikan seseorang yang lebih dulu atau tinggi dari yang lain, baik dari sisi usia yang lebih tua/sepuh, dari sisi jabatan, kedudukan, kepangkatan, martabat dan kekuasaan. Jelekkah arti dari kata "Senior" ? Tentu saja tidak. Baik buruknya sesuatu tergantung kita dalam memberi warna, mau merah "senior" itu maka dia jadi merah, mau putih maka jadi putih, mau hitam maka jadi hitam. Dalam penerapannya, masalah senior dan senioritas bukan berasal dari arti kata tersebut, akan tetapi bagaimana penumbuhan makna dari kata senior dan senioritas itu sendiri, disini harusnya yang dimunculkan adalah adanya hubungan timbal balik antara senior dan yunior dalam konteks saling menghargai dan menghormati akan kedudukan status tersebut, bukan malah memunculkan ego sektoral diantara keduanya sehingga acapkali terjadi satu benturan untuk dalam rangka show of force. Menjadi seorang senior dalam bidang apapun memiliki tanggung jawab yang sangat besar karena ia menjadi panutan bagi yuniornya, penghargaan dari para yunior kepada senior muncul apabila ada hal positif yang diberikan atau ditunjukkan oleh senior yang bersangkutan. Para senior hendaknya mampu memberikan pengayoman baik bimbingan, arahan, kasih sayang, dan perlindungan kepada yuniornya, demikian pula sebaliknya seorang yunior harus mampu menunjukkan penghargaan kepada seorang senior tanpa diminta mengingat kedudukannya yang berbeda.
Asas timbal balik yang harmonis seperti ini tentunya akan menciptakan satu hubungan yang lebih baik antara senior dan yunior terlebih diantara keduanya dapat dijalin satu komunikasi yang lancar, terbuka tanpa ada rekayasa. Sudah menjadi hukum alam bahwa senior dan yunior akan tetap ada, suka tidak suka, mau tidak mau, hanya tergantung cara kita menyikapinya dan bagaimana penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam dunia pendidikan seperti halnya STPDN, walaupun sipil bukan militer, senioritas yang ada sebenarnya diharapkan mampu menjadi gambaran nyata dalam kehidupan di lingkungan kerja nantinya, dimana diharapkan mereka nantinya dapat menjadi contoh bagi PNS yang lain untuk bisa memberikan penghargaan lebih kepada para PNS yang lebih senior tanpa memandang tingkat pendidikan dan kedudukan, dan hal ini tentunya kembali lagi bagaimana seorang senior dilapangan menyikapi keberadaan yuniornya. Dan diharapkan juga hubungan senioritas itu dapat menjadi lebih erat lagi dengan penumbuhan rasa kekeluargaan antara seorang kakak dan adiknya.
Di kalangan Praja sendiri, banyak yunior yang merasa alergi dengan masalah senioritas, hal tersebut dapat dimaklumi karena pemahaman akan makna senioritas itu sendiri belum dipahami dengan benar oleh sebagian besar praja, bukan hanya senior tapi juga oleh yunior. Penyimpangan dalam pemaknaan senioritas ini bergulir dari tahun ke tahun, dari angkatan ke angkatan, sehingga pada puncaknya menimbulkan masalah besar. Untuk meluruskan masalah ini diperlukan penyatuan persepsi dan pemahaman dari kedua belah pihak, jangan pernah terbersit dalam pikiran bahwa pelurusan masalah ini harus dengan manghapus senioritas akan tetapi hendaknya dengan jalan mendudukan kembali arti sebenarnya sesuai porsi masing-masing. Jauhkan pikiran dari senior bahwa hal tersebut akan melemahkan kedudukan seorang senior dimata yunior dan jauhkan pula pikiran dari yunior bahwa dengan itu yunior dapat berbuat seenaknya tanpa menghargai para seniornya. Untuk itu senior dan yunior masing-masing harus dapat bersifat lebih arif dan bijaksana serta dewasa untuk saling mengerti apa tugas, kedudukan dan kewajiban yang harus dilaksanakan dalam mengemban kedua status itu. Jangan yunior memaksakan seorang senior harus sempurna demikian pula sebaliknya, kembalikan pada kenyataan bahwa manusia tidak ada yang sempurna.
Willian Shakespeare mengatakan apalah arti sebuah nama, senior maupun yunior ataupun senioritas, tergantung kita dalam memaknainya.

Jadikanlah Hubungan Senior-Yunior Menjadi Lebih Baik seperti Kakak dan Adik,
JANGAN PICIK !!!

IPDN, Kemana Kau Akan Di Bawa ?


Dalam Dunia Pendidikan Kedinasan, seperti halnya STPDN (sekarang IPDN), telah mengalami pergeseran nilai-nilai dari konsep yang didirikan atas prakarsa Bapak Rudini, yang saat itu menduduki jabatan selaku Menteri Dalam Negeri RI.
Banyak sisi dalam kehidupan Praja yang mengalami pergeseran nilai, pemahaman akan filosofis dari Peraturan Kehidupan Praja (Perdupra) yang selama ini menjadi pegangan dan acuan. Pergeseran nilai tersebut harus diakui, sadar atau tidak telah membawa perubahan terhadap pola kehidupan Praja yang cenderung mengarah kepada penurunan. Mungkin dengan pendapat ini orang akan menganggap bahwa pola terdahulu lebih baik dibandingkan sekarang ? Secara fakta, prinsip dan global "iya", walaupun yang namanya deviasi kapan dan dimanapun pasti bisa terjadi.
Sifat militer dalam pola pendidikan STPDN dianggap tabu karena dianggap cenderung dengan hal-hal yang sifatnya kekerasan dan kebengisan. Tapi lihat faktanya dilapangan, orang militer sendiri bisa bersifat lebih sipil dibandingkan dengan orang sipil sendiri dengan peran teritorialnya, Purna Praja sendiri dilapangan tidak pernah secara global dinyatakan menjadi PNS yang bengis, kejam dan suka melakukan kekerasan terhadap warga masyarakatnya. Jadi, dengan kata lain militer tidak bisa diidentikan secara langsung dengan kekerasan. Kalaupun ada yang menyatakan bahwa pola pendidikan militer hanya boleh dilakukan dalam pendidikan militer, apakah artinya orang militer berhak untuk melakukan kekerasan seenaknya ? Tentu saja TIDAK. Jadi sifat militer yang diterapkan dalam dunia pendidikan kedinasan jangan dipandang dalam arti sempit sehingga langsung mengklaim bahwa kehadiran militer (militerisme) dalam dunia pendidikan seperti halnya STPDN harus dihapuskan. Banyak hal positif yang bisa diambil, semua hal yang telah ditanamkan oleh pendiri STPDN telah benar-benar dipikirkan dan tidak sembarangan. Kalau boleh menanyakan, baris berbaris punya siapa, tata upacara dan penghormatan punya siapa, PUDD yang berkaitan dengan kerapian punya siapa, sipil kah ? militer kah ? Bermanfaatkah itu ?
Sebagai pembanding, seperti yang saat ini banyak terjadi dan diberitakan oleh media massa, berbagai peristiwa yang dilakukan mahasiswa umum (non kedinasan) yang melakukan tindak kekerasan dalam melakukan demonstrasi bahkan perkelahian antar kampus, banyak terjadi tindakan kekerasan dan perusakan terhadap fasilitas umum, mobil pribadi milik masyarakat yang tidak berdosa, apakah ada yang menganggap bahwa pola pendidikan di kampus yang bersangkutan salah dan harus dilakukan pembenahan secara total ? tidak pernah ada. Semua dianggap wajar. Jadi dimana keadilan ?
Dalam menghadapi peristiwa seperti ini kita harus berbicara dengan hati, ingin perbaikan ataukah ingin saling jegal. STPDN bukan sekolah para malaikat. Jadi penyelesaian permasalahan yang ada bukan harus dengan jalan mengikis habis segalanya, semuanya dianggap perlu hapuskan, seperti orang mengambil kerikil dalam tumpukan beras, apakah harus beras itu dibuang diganti baru, atau haruskah tempatnya yang diganti ? selesaikah masalah itu dengan baik ? Bijaksanakah itu ? Tentu saja tidak. Mestinya ambil kerikil tersebut dengan hati-hati tanpa menyebabkan beras yang ada menjadi tumpah.
Penyelesaian masalah dalam dunia pendidikan kedinasan harus benar-benar dilakukan oleh orang yang mengerti benar dan pernah berkecimpung langsung dalam dunia pendidikan kedinasan, seperti halnya seorang dokter gigi jangan pernah meributkan pekerjaan yang dilakukan oleh dokter mata, kalaupun ada kesalahan serahkan semuanya kepada dokter mata yang lain untuk membantu menyelesaikan, karena walaupun basicnya hampir sama tapi tetap saja berbeda dalam ilmu, penyakit pasien, cara penanganan dan penyembuhan bahkan peralatan yang digunakan. Buka hati dan telinga, belajar untuk mendengarkan, bangsa ini sudah semakin bobrok karena banyak orang pintar saling menjatuhkan satu sama lain. Dengan alasan kepentingan bangsa dan negara, rakyat semakin diperbodoh dan disesatkan oleh berbagai teori dan logika yang tidak pada tempatnya (Bersambung).

Sabtu, 15 November 2008

Perjalanan Panjang


Bagi para Petualangan, perjalanan menjelajah dunia merupakan suatu tuntutan yang tidak bisa diindahkan, berapapun tenaga, waktu dan biaya rela dikorbankan. Berbagai rintangan yang menghadang dihadapi dengan penuh keberanian asal tujuan dapat dicapai. Bagi orang yang memiliki satu obsesi tertentu, rintangan tersebut disingkirkan dengan berbagai cara, tidak peduli dengan cara kasar, lembut, baik maupun buruk. Ternyata, perjalanan tersebut ditempuh dengan tidak hanya mengorbankan tenaga, waktu dan harta pribadi akan tetapi juga dapat mengakibatkan dikorbankannya pula hak orang lain. Beratnya perjalanan yang dilalui ternyata banyak meninggalkan jejak langkah yang penuh dengan darah akibat onak duri dan batu kerikil dan juga ceceran darah orang lain.
Manusia kadang lupa, bahwa nikmatnya perjalanan panjang itu bukan hanya tercapainya tempat tujuan, akan tetapi bagaimana proses perjalanan itu sendiri. Perjalanan panjang yang dilakukan dengan tenang, tenteram dan damai, apalagi dalam perjalanan tersebut kita sempatkan untuk saling berbagi kasih dan sayang terhadap sesama makhluk dan alam sekitar tentu hasilnya akan jauh lebih nikmat.

Sahabat Terbaik

Malam ini kembali aku duduk sendiri, berteman asap rokok, nyamuk dan sesekali suara jangkrik yang memecah dikeheningan malam. Alunan musik ringan yang terdengar seperti membawa aku kembali ke dalam alam bawah sadar yang selama ini selalu menjadi tempat penjelajahanku pada setiap kesendirian.
Waktu malam ini terasa sangat panjang, seakan jarum jam ikut terhanyut dan larut dalam suasana sepi. Perenungan akan hidup kembali merambah pikiran dan bathin. Berbagai pertanyaan kembali bermunculan, mengapa semua ini bisa terjadi, apa maksud dari semua ini, bagaimana aku bisa melaluinya. Setiap muncul pertanyaan, keluhan nafas panjangku tidak pernah mau berhenti, seperti suatu irama harmonis yang mengalun saling isi.
Melihat hidup dengan mata tertutup ternyata membuat semuanya menjadi semakin jelas tergambar. Dengan menyandarkan pandangan pada bathin dan ketauhidan membuat tapak kaki selama ini dapat terlihat satu demi satu.
Dengan mencoba menutup mulut aku memulai untuk berbicara dengan hati, menguatkan rasa yang ada, mencoba untuk berdioalog secara terbuka akan semua makna hidup. Dalam sadar, dialog seperti saat ini sangat sulit untuk dilakukan, semua dihalangi oleh ego diri yang menjunjung tinggi dan menghamba kepada nafsu yang selalu ingin lebih dan lebih.
Setiap detik dan helaan nafas, aku merasakan bahwa begitu banyak nikmat yang sebenarnya telah manusia terima, bahkan sulit untuk dibayangkan, bumi dan langitpun tidak sanggup untuk menampungnya. Selama ini, kita hanya merasakan secara zahir cobaan yang kita terima bagai ribuan bahkan jutaan tusukan jarum yang amat sangat menyakitkan. Kita tidak pernah mencona untuk membandingkan besarnya nikmat yang kita terima dengan cobaan yang mendera. Lebih-lebih kita tidak pernah mencoba untuk mencari nikmat itu sendiri dalam setiap cobaan yang ada.
Secara kodrati manusia memang diciptakan lebih sempurna dibandingkan dengan makhluk lain akan tetapi juga menanggung beban yang amat sangat berat. Cobaan terbesar terletak pada bagaimana kita dapat menerima dengan ikhlas segala sesuatu, disinilah nilai manusia itu sendiri. Semua makhluk diciptakan dalam kondisi ikhlas dalam takarannya masing-masing, sapi ikhlas hidup dan besar untuk disembelih oleh manusia, pohon tumbuh dan besar untuk menaungi, berbuah dan akhirnya ditebang oleh manusia, semuanya ikhlas menjalani, bahkan iblispun ihlas dalam kesesatannya.
Aku mencoba untuk menanyakan kepada hati, sudah ihklaskah aku selama ini ? Jawab hatiku tegas, BELUM ! Terasa air hangat mulai menetes dipipiku, mengalir tanpa bisa ku bendung lagi. Aku sadar sepenuhnya, bahwa selama ini keihklasanku akan semua cobaan yang aku terima masih belum sepenuhnya walau aku selalu mencoba untuk menyerahkan semuanya kembali kepadaNya.
Keikhlasan memang tidak akan datang begitu saja, tidak dapat kita rekayasa, tidak dapat dibuat-buat. Semuanya harus melalui suatu proses panjang, pembelajaran dan perenungan diri yang mendalam dengan selalu mendengarkan dan mencoba untuk berdialog dengan hati dengan menguatkan rasa. Prinsip yang selalu aku pegang bahwa Tuhan Maha dan selalu adil, dalam setiap kemudahan pasti ada kesulitan dan begitu juga sebaliknya. Setiap kejadian pasti ada maksud dan tujuan, dan semuanya itu demi kebaikan manusia itu sendiri. Tanam baik buah baik, tanam buruk buah buruk, itu sedah hukum alam.
Mungkin jejak langkah ku selama ini belum banyak mengikutsertakan hati dan rasa untuk ikut membimbing, sehingga tujuan ku untuk mencapai derajat ikhlas belum menemukan titik tuju. Aku harus berani mengakui itu karena hati yang saat ini kuajak berbicara tidak pernah berbohong dan hati lebih tau siapa diriku dibandingkan aku sendiri.
Perjuangan menundukkan ego diri dan nafsu memang tidaklah ringan bahkan sangat berat, akan tetapi Tuhan Maha Tahu dan selalu menilai akan upaya yang dilakukan hambanya untuk menjadi lebih baik.
Terima kasih hati, Tuhan menciptakanmu bukan tanpa maksud, engkau merupakan teman dan sahabat terbaik yang diberikan untuk menemaniku dalam setiap kebimbangan dan kealpaan. Semoga aku tidak pernah lupa akan itu. Amiiin.

Jumat, 14 November 2008

Si Lumpuh dan Si Buta

Pada suatu hari seorang lumpuh pergi ke  sebuah  warung  dan duduk  disamping  seseorang  yang  sudah  sejak tadi disana.
"Saya tidak bisa datang ke pesta Sultan," keluhnya, karena kakiku yang lumpuh sebelah ini aku tak bisa berjalan cepat."
Orang disebelahnya itu mengangkat kepalanya. "Saya pun diundang," katanya, "tetapi keadaanku lebih buruk dari
Saudara. Saya buta, dan tak bisa melihat jalan, meskipun saya juga diundang."
Orang ketiga, yang mendengar percakapan kedua orang itu, berkata, "Tetapi, kalau saja kalian menyadarinya, kalian
berdua mempunyai sarana untuk mencapai tujuan. Yang buta bisa berjalan, yang lumpuh didukung di pungung. Kalian bisa
menggunakan kaki si Buta, dan Si Lumpuh untuk menunjukkan jalan."
Dengan cara itulah keduanya bisa mencapai tujuan, dan pesta sudah menanti.
Dalam perjalanan, keduanya sempat berhenti di sebuah warung lain. Mereka menjelaskan keadaannya kepada dua orang lain
yang duduk bersedih disana. Kedua orang itu, yang seorang tuli, yang lain bisu. Keduanya juga diundang ke pesta. Yang
bisu mendengar, tetapi tidak bisa menjelaskannya kepada temannya yang tuli itu. Yang tuli bisa bicara, tetapi tidak
ada yang bisa dikatakannya.
Kedua orang itu tak ada yang bisa datang ke pesta; sebab kali ini tak ada orang ketiga yang bisa menjelaskan kepada
mereka bahwa ada masalah, apalagi bagaimana cara mereka memecahkan masalah itu.

Cinta

Menggunakan kata cinta sering dianggap dapat menjadi senjata pamungkas untuk menunjukkan rasa yang paling indah. Tapi apakah makna cinta selalu dapat dapat ditunjukkan hanya dengan sepotong kata cinta ?

Damai

Kadang kita duduk sendiri, merenung, sepi.. Dalam ketenangan hari, dalam kebisuan diri, kita palingkan jauh pandangan kita ke dalam diri, menutup semua pintu dan jendela dunia fana, munculkan satu tanya dalam diri, sudah damai kah diri ?
Dalam suatu kesunyian lahir, tidak semua orang dapat menemukan makna diri, semua kotor penuh dengan nafsu dunia, banyak mulut yang lebih manis dari madu, banyak tangan yang lebih ringan dari kapas, tapi semua bak fatamorgana yang bersifat semu.
Coba sekarang kita rasakan, hari demi hari serasa semakin cepat berlalu, tidak terasa pagi berganti malam, malam kembali berganti pagi, siang, malam, semua seakan semakin cepat dan saling berpacu. Berbagai kesibukan dunia telah menggelapkan makna dari hari, waktu seperti kita kebiri dan tidak mempunyai makna lagi. Kenikmatan yang kita peroleh dari waktu bak setetes air yang kita ceburkan kelaut lepas, hilang ditelan oleh ganasnya gelombang hidup yang semakin tidak tentu arah.
Terlebih saat kita membuka kedua kelopak mata, memandang sekeliling kita, mendengar jeritan diseputar kita, apa yang kita lihat ? Apa yang kita dengar ? Keluhan, teriakan, makian, cacian, tangisan, perampasan, penindasan, kekerasan !
Manusia semakin lupa, perbudakan dunia semakin meraja, nafsu didudukan dalam kepala, lupa akan kodrat bahwa kita hanya makhluk, tidak lebih !
Berbagai permasalahan dunia hanya dapat diatasi oleh hati, kita harus terus mencoba untuk mengajak hati berdialog secara terbuka, apa dan bagaimana seharusnya.