Sabtu, 29 November 2008

Cinta Sena (Cerpen) Bagian 1

Aku berdiri dalam keramaian, penuh dengan orang yang lalu lalang. Jangankan untuk berjalan, menggerakkan badanpun sepertinya sangat susah. Tapi anehnya aku merasa sepi sendiri, orang-orang seperti bayang semu yang mengelilingiku. Bisingnya suara mereka begitu bisu ditelingaku, bahkan lebih keras debar jantungku. Aku seperti mati dalam keramaian. Aku bahkan hampir tidak bisa mengenali siapa diriku ini. Aku mati, mati, mati.
Langit seketika menjadi gelap, kilat menyambar diikuti bunyi menggelegar, menggetarkan setiap simpul syaraf ditubuhku. Aku terhenyak, tersadar bahwa aku masih ditempatku semula, didalam kamarku, di atas tempat tidurku, di dalam gelap, seperti dua jam yang lalu. Mimpi ku pikir, sambil menghela nafas dan menyeka keringat dingin didahiku, aku melihat jam weker kesayanganku, pemberian terakhir mama, yang terpenting pesan beliau "Sena, jangan lupa waktu, yah". Kenangan itu kembali membayang, terutama senyum mama yang penuh dengan kasih sayang.
Sebelum terlalu jauh, namaku Sena, lengkapnya Senapati, aku tidak tau kenapa orang tuaku memberiku nama seperti itu, mungkin mereka ingin aku menjadi seorang pemimpin yang gagah, jujur dan berani seperti seorang senapati di jaman kerajaan dulu. Usiaku memang sudah tidak muda lagi, sekarang sudah beranjak 30, usia yang cukup untuk selalu tetap produktif.
Tidak terasa sekarang sudah jam 03.00, padahal aku baru bisa memejamkan mata 2 jam yang lalu, singkat sekali rasanya tidurku malam ini, tidak tau kenapa, pikiranku saat ini terasa sangat kosong, aku tidak tau harus berbuat apa, bahkan aku tau harus berpikir apa. Aku coba bangkit dari tempat tidur, menyalakan lampu kamar dan menggerakkan badan untuk mengusir kepenatan. Segelas kopi yang masih setengah tersisa kuhirup untuk menghilangkan dahaga dan kemudian kunyalakan sebatang rokok.
"sssshhh...." nikmaaat rasanya.
Kuambil kursi dan kubuka jendela kamarku, terasa udara pagi yang dingin mulai menyentuh kulit tubuhku yang telanjang dada. Untung kamarku berada ditingkat dua, sehingga pemandangan yang terlihat bukan dinding-dinding kumuh rumah-rumah yang ada disekitarku, dari sini aku masih bisa melihat langit birunya malam yang sedikit terang dengan adanya cahaya bulan. Aku tinggal di rumah kost yang sangat sederhana, terlalu malah kalau tidak mau juga dibilang kumuh.Kebetulan pemiliknya adalah seorang bapak yang sudah sangat tua dengan isteri dan seorang cucunya, laki, yang masih sangat kecil baru berumur 2 tahun. Hitung-hitung saling membantu, bapak itu, Samiran namanya, hanya mampu untuk menghidupi keluarganya dengan menarik becak, itupun bukan punya sendiri, padahal umur beliau sudah 60 tahun lebih. (belum selesai)

Tidak ada komentar: