Minggu, 16 November 2008

STPDN/IPDN, Jenjang Senioritas

Tahapan Senioritas
Sejak tahun 1996 (angkatan 05), di STPDN terjadi perubahan status dari Diploma III menjadi Diploma IV, sehingga tingkatan senioritas bertambah dengan adanya tingkat 4. Sebutan untuk menunjukkan masing-masing tingkatan adalah :
Tingkat 1 disebut dengan Muda Praja
Tingkat 2 disebut dengan Madya Praja
Tingkat 3 disebut dengan Nindya Praja
Tingkat 4 disebut dengan Wasana Praja.
Dalam pola pembinaan keprajaanpun, keempatnya masing-masing memiliki pola tersendiri, yaitu :
Muda Praja merupakan Tahap Pengosongan
Madya Praja merupakan Tahap Penanaman
Nindya Praja merupakan Tahap Penumbuhan
Wasana Praja merupakan Tahap Pengembangan.
Adapun penjabaran dari masing-masing tahapan adalah sebagai berikut :
Tahap Pengosongan (Muda Praja)
Muda Praja sebagai tahap awal yang harus dilalui setelah seseorang lulus dalam mengikuti seleksi penerimaan dan dinyatakan diterima sebagai Praja STPDN/IPDN. Dalam tahapan ini terasa masih sangat kental adanya perbedaan antara Praja satu dengan lainnya, baik karakteristik budaya daerah, bahasa, etika pergaulan, tingkat kedudukan sosial, agama dan keyakinan. STPDN/IPDN dapat dikatakan sebagai suatu miniatur Indonesia, didalamnya terdapat keaneragaman suku bangsa dan budaya, karakteristik dan lain sebagainya. Keanekaragaman yang menjadi salah satu kekayaan STPDN/IPDN yang harus dibina, dikembangkan dan diarahkan dengan harapan bahwa perbedaan tersebut dapat disatukan dalam satu wawasan nusantara bukan malah menjadi bahan perselisihan dan perpecahan. Untuk itu diperlukan adanya satu kesepahaman persepsi sehingga perbedaan tersebut menjadi satu kekuatan besar. Berbagai perbedaan latar belakang, karakteristik budaya, harus mampu dipadukan dengan mengesampingkan ego kedaerahan (primordial). Muda Praja diharapkan mampu untuk duduk sama rendah berdiri sama tinggi diantara satu dengan lainnya. Tidak ada lagi orang Batak, orang Jawa, orang Dayak, orang Banjar, orang Makassar, orang Bugis, orang Manado, orang Ambon, orang Maluku, orang Bali, orang Irian dan lain sebagainya, semuanya satu, satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa, Indonesia, yang lebih penting lagi adalah satu keluarga besar. Tidak ada perbedaan antara anak orang kaya, anak gubernur, anak bupati, anak komandan kodim, anak pengusaha, anak petani, anak pedagang, anak buruh, anak tukang becak, semua sama, sama-sama Muda Praja, berdiri dalam satu barisan, tidur dalam satu barak, makan dalam satu Menza, makan sama pakai ompreng, nasi sama keras, lauk sama apa adanya. Satu Rasa. Apakah tahapan ini perlu, jawabnya Sangat Diperlukan. Hal ini juga dalam rangka pembelajaran untuk bisa saling mengerti, memahami dan merasakan kehidupan saudara-saudara kita yang masih berada jauh dibawah.
Sebelumnya Penulis mohon maaf kalau terpaksa bercerita "dulu" bukan maksud untuk membandingkan dan merasa lebih baik dari yang sekarang, akan tetapi ini hanya sebagai satu cerita dan bahan untuk membuka wawasan akan sejarah dan pola pembinaan Praja pada masa itu. Muda Praja saat itu benar-benar mengalami masa-masa yang sangat sulit, jauh berbeda dengan apa yang pernah mereka alami di luar dan mungkin belum pernah terbayangkan. Saat itu Praja tidak boleh ada yang membawa makanan ke barak, uang saku dibatasi hanya Rp.60.000,- perbulan, gaji disimpan di Bank dan tidak boleh diambil tanpa seizin lembaga melalui Pengasuhan, mau makan baris, habis makan baris, makan paling akhir tapi harus lebih dulu selesai dari para seniornya, memakai wangi-wangian dilarang, membawa barang elektronik apapun tidak dibolehkan, jangan kan TV, radiopun tidak ada. PUDD (Peraturan Urusan Dinas Dalam) selalu diperiksa, mulai dari lemari pakaian, tempat tidur, lemari belajar, kamar mandi dan lain sebagainya. Saling mengirim surat tidak dibolehkan, menerima telpon harus melalui Posko Manggala (Posko Propinsi), sampai-sampai Penulis diputus pacar dibilang sudah lupa sampai ngga pernah ngasih kabar (hi hi hin kasian deh gue). Mau makan ke kantin ? jangan coba-coba, tabu bagi Muda Praja menjamah kawasan para seniornya. Masuk Menza paling akhir, mulai makan belakangan tapi harus lebih dulu selesai dari senior yang ada di meja, duduk setengah kursi, makan harus habis tidak boleh ada sisa. Tidak ada beda antara anak pejabat, anak petani, semua sama.
Nasibmu Muda Praja, tapi itulah masa paling berkesan, ngumpul dengan teman seangkatan menceritakan penderitaan sebagai bahan pembicaraan dan menumbuhkan rasa keakraban.
Tahap Penanaman (Madya Praja)
Dalam Tahap ini masa-masa Muda Praja sudah terlewati, seorang Madya Praja sudah memiliki seorang adik yang harus dibina dan menjadi tanggung jawabnya. Masa Madya Praja adalah masa penanaman, dimana setelah masa pengosongan dilalui, Madya Praja mulai diisi dengan penanaman nilai-nilai bagaimana seharusnya seorang Praja bersikap. Penanaman nilai-nilai ini tentunya tidak akan mudah untuk diterima seandainya mereka pada saat Muda Praja tidak terlebih dulu diarahkan. Kenikmatan setelah melalui masa Muda Praja sangat terasa pada saat Madya Praja ini dan ini juga merupakan tahapan bagaimana Madya Praja belajar untuk ikut mengarahkan dan membimbing adik-adiknya Muda Praja.
Tapah Penumbuhan (Nindya Praja)
Dalam Tahapan Penumbuhan, tingkat kedewasaan seorang Praja mulai terlihat, dengan telah dilaluinya kedua tahapan sebelumnya, Nindya Praja harus mampu untuk lebih mengembangkan diri, lebih bertanggung jawab dan dapat bersifat sebagai orang kedua dari seniornya untuk membantu membina dan mengarahkan para yuniornya.
Tahap Pengembangan (Wasana Praja)
Masa akhir ini merupakan masa yang paling nyaman sekaligus sangat berat. Seorang Wasana Praja tidak tidak hanya bertanggung jawab kepada adik-adiknya akan tetapi juga secara pribadi mereka harus siap untuk bertanggung jawab kepada masyarakat. Berbagai bekal yang telah diterima harus mampu untuk dikembangkan dalam rangka persiapan melaksanakan tugas dilapangan. Wasana Praja sebagai seorang Pamong Praja Muda diharuskan siap untuk terjun ke masyarakat.
Dari uraian di atas, banyak sekali makna yang terkandung dari setiap tahapan, diantaranya :
  • Kita harus menyadari bahwa dalam perjalanan hidup dan karir perlu adanya tahapan yang masing-masing harus mampu dilalui dan dijalani dengan baik dan benar.
  • Untuk mencapai satu keberhasilan perlu ada perjuangan dan pengorbanan
  • Kita tidak akan bisa merasakan sakit yang diderita orang lain kalau kita belum pernah mengalaminyang
  • Ibarat menanam padi, tahapan dan langkah-langkahnya harus benar-benar dilalui dengan baik sehingga hasilnya pun akan baik pula
  • Jangan selalu melihat ke atas, tapi belajarlah untuk melihat ke bawah
Bersyukurlah kita pernah mengalami dan merasakan, perjalanan hidup yang cukup berat,
masih banyak saudara kita yang mungkin belum pernah merasakannya,
sehingga kita bisa lebih belajar makna dari hidup
dan bisa merasa penderitaan sesama

Tidak ada komentar: